Guru Besar IPB Hariadi Kartodihardjo: Kebijakan KHDPK Strategi Pulihkan Hutan di Jawa
RIAUMANDIRI.CO - Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB Prof. Hariadi Kartodihardjo menilai kebijakan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) sebagai strategi memulihkan hutan di Jawa.
Selain itu, kebijakan ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang kehidupannya sangat tergantung pada kawasan hutan.
Untuk itu, kawasan hutan yang dikelola KHDPK semestinya dipilih dari kawasan hutan yang selama ini menjadi ruang konflik, tidak produktif, berupa lahan kritis, ataupun secara de facto telah berubah peruntukannya bukan sebagai hutan.
KHDPK di Pulau Jawa menetapkan arahan kawasan hutan yang dikelola yaitu seluas 1,1 juta hektar. Dalam regulasinya, wilayah yang menjadi KHDPK itu sebagian kawasan hutan negara yang berfungsi sebagai hutan produksi dan hutan lindung. Wilayah itu berada di wilayah Perum Perhutani, baik di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, maupun Banten.
“Dengan begitu, di Jawa akan terdapat dua unit pengelolaan di hutan produksi maupun hutan lindung, baik yang dikelola oleh Perhutani maupun yang dikelola oleh pemerintah secara langsung,” ujar Hariadi, Senin (25/7/2022).
Menurut Prof. Hariadi, sampai di titik ini tentu ada asumsi bahwa Perhutani dapat mengubah dirinya sehingga berkapasitas menjadi pengelola hutan secara profesional. Sementara, pemerintah juga mempunyai kapasitas kelembagaan di lapangan dengan kemampuan melebihi kapasitas Perhutani di masa lalu.
Kini, katanya, berbagai isu mengenai kebijakan itu bermunculan, baik yang pro maupun kontra. Informasi berdasarkan pengakuan langsung dari masyarakat maupun dari rekaman pengakuan mereka, di beberapa lokasi, sedang terjadi transaksi penggunaan kawasan hutan maupun telah terjadi pendudukan ruang ataupun pengambilan kayu secara ilegal. Hal ini disertai isu, bahwa kawasan hutan yang tidak lagi akan dikelola Perhutani itu akan menjadi lahan pangan ataupun dikonversi melalui program reforma agraria.
“Isu demikian itu tidak benar. KHDPK akan dikelola pemerintah untuk enam jenis pemanfaatan, yaitu untuk kepentingan perhutanan sosial, penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, ataupun pemanfaatan jasa lingkungan (Pasal 472, Permen LHK No 7 tahun 2021),” papar Prof. Hariadi yang juga anggota FORCI Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University.
Dari statistik KLHK (2020), kawasan hutan negara di Jawa seluas 3,04 juta hektar. Dari luas ini, Perhutani mengelolanya seluas 2,43 juta hektar. Namun, sejauh ini—sebagaimana argumen kebijakan KHDPK itu—Perhutani di masa lalu belum mampu mengatasi luasnya kawasan hutan tidak produktif itu. Tegakan berdiri di hutan (standing stock) yang pernah diukur, baik untuk jenis kayu jati maupun kayu rimba di Perhutani, juga menurun sebanyak 3,87 juta meter kubik selama periode 2015 hingga 2019.
Bila ditinjau dari aspek tatakelolanya, dari diskusi mengenai penanganan konflik kepentingan dalam lingkup BUMN pada Maret 2021, Direktorat Monitoring, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan beberapa kasus di Perhutani. Saat itu, KPK mengidentifikasi terdapat persoalan yang mendesak untuk diselesaikan.
Sejumlah persoalan tersebut antara lain indikasi kebocoran dalam penerimaan pendapatan dari kayu maupun getah, jual atau sewa lahan garapan kepada petani, pemilikan lahan garapan oleh oknum karyawan, oknum karyawan Perhutani sebagai pihak yang ikut kerjasama dengan Perhutani, serta adanya penguasaan aset perusahaan yang menguntungkan karyawan dan pihak tertentu.
“Indikasi demikian itu menunjukkan bahwa kebijakan transformasi Perhutani pasca KHDPK untuk menjadi, katakan “Perhutani Baru”, bukan hanya berhadapan dengan hal-hal teknis seperti perubahan luas hutan yang dikelola, tetapi juga berhadapan dengan kapasitas kepemimpinan serta dukungan kementerian, terutama Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maupun pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan tatakelola itu,” ujar Prof. Hariadi.
Persoalan tata kelola demikian itu diperkirakan juga dapat terjadi dalam pengelolaan KHDPK oleh pemerintah. Pelaksanaan perhutanan sosial, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan sejauh ini juga rentan terhadap penyalahgunaan wewenang ataupun dominasi pihak tertentu, terutama yang menguasai politik lokal maupun nasional.
“Ironinya, hal seperti ini seringkali tidak dapat menjadi alasan formal atas suatu kegagalan pelaksanaan kebijakan tertentu. Di sisi lain, situasi seperti itu memang sudah berada di luar repertoar standar pekerjaan suatu profesi atau pegawai negara,” kata Prof. Hariadi
Selain itu, dalam pelaksanaan transformasi perlu memperhatikan sifat khas hutan, bahwa hutan tidak dapat diinterpretasikan hanya berupa fenomena fisik yang mudah dipisah satu bagian dengan bagian lainnya. Hal itu karena hutan dengan ruang sosial, politik dan ekologisnya mengandung “hukum besi”. Yaitu, penjaga utama fungsi lingkungan hidup dalam wilayah ekologisnya, yang mana sejauh ini belum tergantikan oleh teknologi apapun.
Untuk itu, tandas Prof. Hariadi, dalam mengelola hutan di pulau Jawa juga mempunyai inti, pentingnya perhatian terhadap fungsi lingkungan hidup. Dalam hal ini, untuk pelaksanaan kebijakan apapun, fungsi hutan di Jawa seharusnya ditambah dan bukan dikurangi.
Apalagi korban bencana di Indonesia, menurut Badan Nasional Penaggulangan Bencana, terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Selama tahun 2021, korban menderita dan mengungsi 7.630.692 orang, meninggal dunia 728 orang, hilang 87 orang dan luka-luka 14.915 orang. Dan semua itu terjadi sebagian besar di pulau Jawa.
Mengingat banyak pertimbangan yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan KHDPK ini, termasuk isu pro kontra dan dampak sosial politik yang sudah mengemuka, menurut Prof. Hariadi, proses ini nampak tidak dapat dilaksanakan hanya dengan pendekatan teknokratik belaka. Karena sumber dari kebijakan ini yaitu turunan Undang-Undang Cipta Kerja, terlepas dari kontroversi pelaksanaan undang-undang ini setelah pembatalan bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, maka seyogyanya Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama menjalankan moda transisi untuk mengeliminer distorsi sosial politik yang tidak perlu. Adapun secara operasional, dapat dipertimbangkan mengisi moda transisi itu, misalnya, melalui ko-manajemen antara Pemerintah dan Perhutani. (*)